OBORMOTINDOK.CO.ID – Bencana pandemi Covid-19 berpotensi melahirkan karya-karya sastra besar. Namun, jika sastrawan tergoda untuk menelannya bulat-bulat, hasil karyanya jauh di bawah kedahsyatan bencana itu sendiri.
Hal itu ditegaskan penyair dan kritikus sastra Agus R. Sarjono, sebagai narasumber dalam Webinar di Jakarta, Kamis 27 Januari 2022 malam.
Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, Satupena. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.
Webinar bertema “Pandemi Timbul, Pandemi Tenggelam” itu juga diiringi pembacaan puisi oleh kalangan penulis, antara lain Fachrunnas M.A. Jabbar (penyair), Riri Fitri Sari (Poetry Reading Society), Haqi Fadillah (dosen dan penulis), Beni Satria (Lab Teater Ciputat), Anto Narasoma (penyair), dan Rika Rostika Johara (aktor teater).
Menurut Agus Sarjono, bencana, geger, disrupsi, dan katastropi sosial dan politik adalah semangkuk besar bubur panas sejarah. Banyak sastrawan tak sadar dan tergoda untuk menelannya bulat-bulat.
“Maka alih-alih menelan semangkuk bulat-bulat, sesendok pun sudah dimuntahkan atau tersembur ke luar. Yang didapat pembaca akhirnya hanyalah muntahan atau semburan demikian,” ujar Agus.
Agus menjelaskan, saat sebuah puisi, cerpen, bahkan novel tentang suatu bencana ditulis, sastrawan yang sezaman dengan bencana tersebut mungkin masih aman. Hal ini karena dapat membandingkan antara bencana dan puisi tentang bencana, misalnya.
“Namun, bagaimana dengan pembaca di tempat yang jauh, apalagi di zaman berbeda? Sebuah karya sastra tentang bencana, yang tidak setara dengan bencana yang disastrakannya, dapat berakibat tidak kecil. Itu bisa dianggap menyembunyikan atau menutupi kedahsyatan bencana tersebut,” tuturnya. *
Discussion about this post