
Oleh: Saharudin Ahaba
OBORMOTINDOK.CO.ID. Palu– Saya sangat menyayangkan pernyataan yang disampaikan oleh Fuad Plered yang sebelumnya melontarkan penghinaan terhadap Guru Tua, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri. Pernyataan tersebut bahkan mengandung narasi fitnah yang sengaja disebarkan untuk menyerang pribadi beliau, termasuk tuduhan bahwa Guru Tua adalah bagian dari Belanda, elite kolonial, dan pengkhianat bangsa yang tidak layak menjadi Pahlawan Nasional.
Tuduhan tersebut jelas tidak berdasar secara historis dan merupakan bentuk penghinaan terhadap salah satu tokoh besar pendidikan Islam di Indonesia Timur.
Secara akademik dan historis, perlu ditegaskan bahwa Guru Tua bukan bagian dari sistem kolonial. Beliau datang ke Sulawesi Tengah pada tahun 1929, yakni dua dekade setelah kekuasaan kolonial Belanda menguat melalui Perjanjian Plakat Panjang tahun 1905 di wilayah Gowa, Sulawesi Selatan.
Saat itu, sistem kolonial sudah sangat represif terhadap gerakan rakyat, khususnya di wilayah Sulawesi. Guru Tua tidak pernah menjadi bagian dari elite penguasa kolonial, tidak menerima tanah dari pemerintah Belanda, dan tidak pernah menjadi antek kolonial dalam bentuk apa pun.
Tanah tempat Alkhairaat berdiri merupakan hasil interaksi sosial yang sehat dengan masyarakat lokal: sebagian besar berupa hibah masyarakat, sebagian dibeli secara pribadi, dan sebagian lainnya merupakan pemberian dari keluarga istrinya yang berasal dari etnis Kaili.
Jika dibandingkan dengan tokoh lain seperti KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang juga membangun gerakan Islam berbasis pendidikan di awal abad ke-20, maka Guru Tua memiliki perjuangan yang serupa. Keduanya melawan kolonialisme bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu dan dakwah yang mencerdaskan umat. Mereka adalah penggugah kesadaran rakyat melalui pendidikan dan moralitas Islam.
Melalui perjuangan tersebut, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri mendirikan Alkhairaat, yang kini menjadi lembaga pendidikan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia. Berdasarkan data terakhir, Alkhairaat telah memiliki lebih dari 2.500 satuan pendidikan, mulai dari tingkat RA, MI, MTs, MA, SMP, SMA, SMK, hingga perguruan tinggi yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Ini adalah warisan monumental seorang ulama besar yang kontribusinya tidak dapat dihapus oleh narasi fitnah yang bernuansa sektarian.
Narasi Ba’alawi versus non-Ba’alawi yang sempat ramai di wilayah Jawa dan digunakan untuk mendiskreditkan Guru Tua adalah fitnah yang terorganisir. Narasi ini tidak memiliki landasan akademik maupun sejarah, melainkan lahir dari kepentingan kelompok tertentu yang ingin menggagalkan pengusulan beliau sebagai Pahlawan Nasional. Mereka memainkan isu keturunan, memutarbalikkan sejarah, dan mengaburkan fakta kontribusi sosial yang nyata dan besar dari Guru Tua.
Saya mengajak seluruh masyarakat Sulawesi Tengah dan Indonesia Timur untuk tidak terprovokasi oleh narasi adu domba seperti ini. Jangan biarkan upaya memecah belah bangsa merusak penghormatan terhadap tokoh yang telah berjasa besar dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam.
Kita harus bersatu dan mendukung penuh pengusulan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri sebagai Pahlawan Nasional.
Penghargaan ini tidak diberikan karena garis keturunan, tetapi karena jejak perjuangan beliau dalam mencerdaskan bangsa, membangun madrasah bagi kaum tertindas, dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang terbuka, toleran, dan berpihak pada rakyat kecil.***






