OBORMOTINDOK.CO.ID. Banggai– Hasrin Rahim, kuasa hukum yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemalangan lahan di wilayah Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Luwuk. Dalam permohonan tersebut, ia mengungkap dugaan pelanggaran serius dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres Banggai, termasuk dugaan rekayasa bukti, intimidasi saksi, serta pelanggaran prosedur administratif.
Menurut Hasrin, salah satu kejanggalan paling mencolok adalah terkait penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, SPDP wajib diserahkan langsung kepada pihak yang bersangkutan maksimal tujuh hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan. Namun, dalam kasus ini, SPDP tersebut diduga diserahkan kepada seorang bernama Kusyanto, yang menurut Hasrin tidak dikenal dan tidak memiliki hubungan hukum dengannya.
“SPDP ini harusnya saya terima langsung, bukan kepada Kusyanto yang saya tidak kenal. Ini pelanggaran administratif serius dan bisa membatalkan proses penyidikan,” ujar Hasrin.
Selain pelanggaran administratif, Hasrin juga menyoroti dugaan adanya rekayasa keterangan saksi dan pemaksaan dalam proses penyidikan. Sejumlah saksi, termasuk mantan kepala desa serta pegawai humas dari perusahaan yang bersengketa dengan warga, diduga diintimidasi agar memberikan keterangan yang memberatkannya.
Salah satu saksi, Made Artana, bahkan mengaku dipaksa menyampaikan informasi tidak benar dengan ancaman penahanan jika tidak menurut.
“Beberapa saksi dipaksa membuat keterangan yang tidak sesuai fakta. Ini jelas upaya kriminalisasi yang tidak bisa dibiarkan,” tegas Hasrin.
Menanggapi substansi perkara, Hasrin menyatakan bahwa aksi pemalangan yang menjadi dasar penetapan tersangka hanya berlangsung selama kurang dari dua jam dan bersifat preventif, guna mencegah konflik dan kekerasan di lapangan. Namun, penyidik disebut menghadirkan keterangan saksi yang menyebut aksi tersebut berlangsung hingga beberapa hari.
“Saya tidak pernah memerintahkan masyarakat melakukan pemalangan. Aksi itu spontan dan dilakukan untuk menjaga keamanan, bukan menghambat aktivitas secara berkepanjangan,” terangnya.
Hasrin juga mengungkap dugaan adanya kolaborasi antara perusahaan perkebunan dan aparat penegak hukum dalam kriminalisasi dirinya. Ia menyebut bahwa lahan yang menjadi objek sengketa adalah wilayah transmigrasi, bukan kawasan hutan seperti yang diklaim oleh pihak perusahaan.
Dokumen resmi dari Gubernur Sulawesi Tengah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) disebut telah membuktikan status legal lahan tersebut sebagai area transmigrasi.
“Sudah ada surat resmi gubernur dan keputusan BPN yang menunjukkan lahan itu bukan hutan. Tapi justru digunakan dalih kawasan hutan untuk menggusur masyarakat dan membungkam perlawanan hukum,” ucapnya.
Dalam pengajuan praperadilan, Hasrin juga mempersoalkan prosedur pemanggilan yang dinilainya tidak profesional. Ia menerima surat panggilan dari dua penyidik berbeda, dengan nomor surat dan tanggal yang tidak konsisten, meskipun objek perkaranya sama.
Hal ini menurutnya menunjukkan adanya ketidakteraturan prosedural yang bisa mengarah pada ketidakadilan hukum.
Atas berbagai dugaan pelanggaran tersebut, Hasrin meminta agar penetapan tersangka terhadap dirinya dibatalkan, dan proses penyidikan yang dinilai cacat prosedur dihentikan.
“Kalau ini terus dilanjutkan, bukan saya yang akan ribut. Masyarakat yang sudah lama menunggu keadilan akan turun tangan,” ujarnya menegaskan.
Kasus ini kini mendapat perhatian luas dari masyarakat, terutama karena menyangkut konflik agraria berkepanjangan antara warga transmigrasi dan pihak perusahaan. Dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat dan manipulasi proses hukum dinilai mencoreng prinsip keadilan dan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di daerah tersebut.**


 
					



