Kenaikan Tunjangan DPR di Tengah Krisis Ekonomi Adalah Ketimpangan yang Mengkhawatirkan

oleh
Penulis: Mukriman Y. Latta  |  Editor: Red
Mukriman Y. Latta, Instruktur HMI dan Pemerhati Kebijakan Publik

Oleh: Mukriman Y. Latta, Instruktur HMI dan Pemerhati Kebijakan Publik

OBORMOTINDOK.CO.ID. Wacana kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang dilaporkan melebihi Rp100 juta per bulan muncul di saat yang tepat ketika Indonesia menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tekanan ekonomi yang membebani masyarakat. Kebijakan ini memicu kritik tajam mengenai kesenjangan antara kebijakan elit politik dengan realitas ekonomi yang dihadapi rakyat.

Ketimpangan Kebijakan di Tengah Krisis

Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan PHK sebesar 32,19% pada paruh pertama 2025 dibanding periode sama tahun sebelumnya, dengan 42.385 pekerja kehilangan mata pencaharian. Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat penyusutan signifikan kelas menengah Indonesia dari 57,33 juta jiwa (2019) menjadi 47,85 juta jiwa (2024).

Di tengah kondisi ini, rincian penghasilan anggota DPR justru menunjukkan angka yang mencengangkan. Berdasarkan PP Nomor 75 Tahun 2008 dan Surat Edaran Setjen DPR RI, total penghasilan bulanan anggota dewan mencapai ± Rp 91,5 juta, terdiri dari gaji pokok dan berbagai tunjangan, termasuk tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan.

BACA JUGA:  Status e-Klaim RSUD Trikora Turun, DPRD dan Pemda Bangkep Cari Solusi

Ancaman terhadap Demokrasi dan Keadilan Sosial

Survei Democracy Perceptions Index 2024 menyatakan bahwa ketimpangan ekonomi dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap demokrasi Indonesia. Data Material Power Index (MPI) 2024 yang mencapai 1.263.381 menunjukkan kekayaan 40 orang terkaya setara dengan lebih dari satu juta kali lipat rata-rata kekayaan masyarakat biasa.

Ketika institusi perwakilan rakyat justru mengambil kebijakan yang memperlebar kesenjangan, ini merupakan krisis legitimasi yang serius. DPR seharusnya menjadi penyeimbang kepentingan, bukan memperkaya diri sendiri di atas penderitaan rakyat.

BACA JUGA:  Pelaku Perjalanan Masuk Sulawesi Utara Wajib Tes Antigen

Solusi Konstruktif untuk Mengatasi Krisis Legitimasi

Pertama, reformasi kebijakan pengupahan pejabat negara harus segera dilakukan dengan melibatkan civil society dan lembaga independen. Penetapan gaji dan tunjangan harus mempertimbangkan indikator makroekonomi dan kondisi sosial masyarakat.

Kedua, penguatan mekanisme akuntabilitas melalui audit publik terhadap kinerja dan penggunaan anggaran DPR. Setiap kebijakan yang berdampak pada anggaran negara harus melalui proses konsultasi publik yang transparan.

Ketiga, prioritas pemulihan ekonomi harus difokuskan pada perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang memberikan 60% dari gaji selama enam bulan bagi pekerja yang di-PHK perlu dioptimalkan dan diperluas cakupannya.

Keempat, dialog nasional mengenai reformasi sistem pengupahan pejabat negara perlu diselenggarakan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang berkeadilan.

BACA JUGA:  DPRD Banggai Gelar RDP, Tuntutan Mahasiswa dan Gaji Honorer Damkar Akhirnya Disepakati

Terakhir, penguatan fungsi pengawasan oleh masyarakat sipil dan media terhadap kinerja DPR harus didukung melalui keterbukaan informasi dan akses yang lebih luas terhadap proses pengambilan keputusan.

Menuju Tata Kelola yang Lebih Adil

Krisis legitimasi yang dihadapi DPR saat ini hanya dapat diatasi melalui komitmen nyata untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagaimana ditegaskan oleh Transparency International Indonesia, “Kredibilitas lembaga perwakilan rakyat dipertaruhkan ketika kebijakan yang diambil justru memperdalam ketimpangan”.

Pilihan yang dihadapi sekarang adalah antara melanjutkan kebijakan yang memperkaya segelintir elit politik atau melakukan reformasi substantif yang mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Masa depan demokrasi Indonesia tergantung pada pilihan yang diambil di tengah ujian ketidakadilan ini. **