OBORMOTINDOK.CO.ID. Palu– Aulia Hakim, seorang pegiat sumber daya alam di Sulawesi Tengah, (Sulteng), memberikan tanggapan terhadap pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang menyoroti ketidakadilan fiskal dalam pengelolaan sumber daya alam nikel di wilayah tersebut.
Aulia menyatakan bahwa sikap Gubernur Anwar layak diapresiasi karena mengangkat isu penting terkait kontribusi riil industri nikel terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah.
Menurut Aulia, Gubernur Anwar perlu berhati-hati dalam mendorong laju produksi nikel yang masif agar tidak menimbulkan oversupply, yang pada akhirnya justru dapat merugikan daerah secara cadangan sumber daya alam kritis.
Ia menekankan bahwa keberlanjutan dan pengelolaan yang bijak menjadi kunci agar sektor ini benar-benar memberi manfaat jangka panjang.
Aulia juga menyoroti pentingnya perbaikan tata kelola industri nikel di Sulawesi Tengah. Sebagai salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara dari sektor tambang, industri ini semestinya dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi daerah dan kehidupan masyarakat.
“Sayang sekali jika pemerintahan Anwar-Reny tidak segera mengambil langkah berani untuk memperbaiki kondisi ini,” tegasnya.
Ia mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi para buruh yang masih bergulat dengan upah rendah serta minimnya jaminan keselamatan kerja. Sengketa lahan dan kerusakan lingkungan yang terus berulang juga menjadi preseden buruk bagi citra industri nikel di mata publik.
Sebagai aktivis yang dikenal vokal membela hak-hak buruh dan isu lingkungan, Aulia mendesak pemerintahan Anwar Hafid agar memulai pembenahan dari aspek kebijakan politik, dilanjutkan dengan reformasi sosial-ekonomi dan lingkungan.
Ia menekankan bahwa buruh adalah elemen kunci dalam rantai produksi nikel, sehingga persoalan ketenagakerjaan harus menjadi prioritas penyelesaian, terlebih dengan maraknya kecelakaan kerja dan pelanggaran hak-hak buruh yang belum terselesaikan dari pemerintahan ke pemerintahan.
Dalam pernyataannya, Gubernur Anwar Hafid mengungkapkan adanya ketimpangan fiskal yang sangat mencolok. Ia menyebut bahwa meskipun Sulawesi Tengah menjadi kontributor besar penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk industri smelter yang disebut Presiden menyumbang hingga Rp570 triliun, provinsinya hanya menerima Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar Rp200 miliar per tahun.
Anwar menggambarkan kondisi Sulawesi Tengah sebagai “hancur-hancuran” akibat aktivitas pertambangan yang intensif namun tidak berdampak signifikan bagi pendapatan daerah. Ketimpangan ini juga menciptakan apa yang disebut sebagai “paradoks sumber daya alam” yang banyak diulas dalam berbagai laporan dan riset.
Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah pada Maret 2023 mencapai 12,41 persen, meningkat 0,08 persen dari tahun sebelumnya. Pengangguran yang masih tinggi menambah kompleksitas masalah di tengah laju industrialisasi. Selain itu, laporan Global Risk Report dari World Economic Forum menunjukkan bahwa risiko terkait perubahan iklim menjadi tantangan dominan jangka panjang bagi sektor ini.
Aulia menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa tren industrialisasi nikel harus menjadi perhatian publik.
Menurutnya, masalah ini bukan hanya soal manajemen pemerintahan, tetapi juga menyentuh ranah politik yang lebih luas.
Ia mendorong langkah-langkah yang mengarah pada kepemilikan rakyat atas sumber daya alam melalui kebijakan nasionalisasi, bahkan regionalisasi aset-aset tambang di Sulawesi Tengah.
“Sudah saatnya kita bicara soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya sendiri, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,” pungkas Aulia.””