Petani Tangguh sebagai Solusi Kestabilan Kebutuhan Pokok

oleh
oleh

[author ]Oleh : H. Asrul Hoesein[/author] [dropcap]O[/dropcap]PERASI pasar merupa­kan upaya pemerintah dan pemerintah daerah dalam menekan atau menstabilkan harga ba­rang kebutuhan pokok. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan ini setiap tahun terjadi gejolak. Semua itu merupakan strategi jangka pendek saja atau upaya instan.

Seharusnya upaya jangka pendek ini dibarengi dengan upaya jangka panjang, fokus dan berkelanjutan den­gan melakukan inovasi infrastruktur pertanian, baik pengembangan sum­ber daya petani maupun teknologi dan terkhhusus kelembagaan petani perlu dibangun dan diperkuat.

Pada ahirnya petani menjadi tang­guh serta keluar dari ketergantungan yang berkepanjangan. Tentu pada gilirannya tidak perlu lagi setiap saat diadakan operasi pasar. Karena petani dan masyarakat sudah menjadi kuat menghadapi gejolak ekonomi terse­but yang dipermainkan oleh para ma­fia-mafia pangan, baik pada tingkat lokal, nasional dan Internasional atau global.

Kunci kestabilan harga kebutuhan pokok terletak pada niat pemerintah untuk keluar dari kegiatan rutinitas ta­hunan dalam operasi pasar. Semua ini dipengaruhi oleh kondisi petani (hulu) sampai dengan lancarnya distribu­si serta tidak ada penimbunan oleh spekulan. Selain itu sinergitas antara pemerintah dengan produsen dan ek­sportir juga memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan kebutuhan pokok ini.

Dalam mengantisipasi upaya me­nekan kenaikan harga barang kebu­tuhan pokok, pemerintah harus meru­bah paradigma berpikir dan bertindak ke arah jangka panjang. Tentu dengan perubahan system yang mendasar, agar Indonesia tidak dininabobokkan dengan gerakan atau program rutini­tas.

Kegiatan-kegiatan instan oleh pe­merintah pusat dan pemerintah daerah ini, seharusnya segera dihentikan den­gan sebuah system yang menopang keberlanjutan produksi kebutuhan pokok itu sendiri. Antisipasi atas kes­tabilan harga barang kebutuhan pokok melalui operasi pasar itu sebagai solu­si jangka pendek harus segera beralih dengan mempersiapkan dan melak­sanakan dengan segera program jang­ka panjang antara lain sebagai berikut:

Penguatan Kelembagaan Petani Melalui Primer Koperasi Tani

Solusi absolut dalam memotong rantai tata niaga pangan yang pan­jang itu dengan memperkuat kelem­bagaan di tingkat petani. Pemerintah dan pemda harus mendorong dan memfasilitasi pembentukan Primer Koperasi Tani (tapi ingat bukan ko­perasi tunggal yang dimiliki orang per orang dengan kolaborasi oknum birokrasi dan pengusaha, seperti saat ini terjadi), tapi koperasi berjejaring dan bersinergi antar petani di seluruh Indonesia, yang diikat dengan Induk Koperasi Tani yang berada di tingkat nasional.

Rekrutmen keanggotaan Primer Koperasi Tani harus selektif dan ti­dak boleh kamuplase alias formali­tas dalam memasukkan anggota atau pengurus dalam koperasi tersebut (harus benar-benar petani dan usaha pendukunnya yang bekerja di wilayah itu). Primer Koperasi Tani ini, akan didukung dengan jejaring pada ting­kat pusat, yaitu Induk Koperasi Tani.  Pola ini sebenarnya kembali men­gacu pada pola lama yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) dan Induk Koperasi Unit Desa (INKUD). Pola ini kembali harus dibangun, walau dengan beber­apa perubahan mendasar. Perubah­an itu antara lain dengan melibatkan petani sebagai produsen yang berwa­wasan atau berjiwa bisnis atau entre­preneurship.

BACA JUGA:  Bupati Amirudin Pimpin Upacara Hari Sumpah Pemuda Ke-93 di Kabupaten Banggai

Artinya petani yang berproduksi dan petani pula yang ikut berjejar­ing atau melaksanakan pemasaran sendiri, bukan hanya sebagai pekerja tapi sebagai pemilik usaha koperasi. Petani akan menjadi tangguh karena mereka sendiri yang memproduksi, menjual atau memasarkan dan seka­ligus sebagai konsumennya.

Sementara pemerintah tetap mem­beri subsidi dan proteksi dari tekanan pengusaha besar atau konglomerasi, baik dari dalam maupun dari luar neg­eri.

Dalam opini atau usulan ini, dit­ingkat provinsi dihilangkan koperasi sekunder. Koperasi sekunder ini hanya memperpanjang alur birokrasi kopera­si tersebut. Diharapkan kepada pemer­intah (Presiden dan DPR) dalam mere­visi Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, agar mempertimbangkan pemangkasan ko­perasi sekunder ini.

Jadi yang ada hanya Primer Kop­erasi Tani yang berada di kabupaten dan kota serta Induk Koperasi Tani yang berkedudukan di tingkat nasi­onal. Ibarat sebuah perusahaan, Induk Koperasi Tani adalah kantor pusat, sementara Primer Koperasi Tani ada­lah kantor cabang yang ada di seluruh Indonesia. Bangun Pertanian Organik Berbasis Sampah dan Limbah Pertanian

Pertanian Indonesia sudah harga mati harus segera meninggalkan pola pertanian konvensional, yaitu pertani­an yang mengandalkan pupuk kimia (urea, tsp, SP-36, KCl dll) serta kecuk­upan air yang banyak. Ketergantungan tersebut harus segera dihentikan. Hasil produksi pertanian Indonesia sudah berada pada ambang kejenu­han yang sangat parah atau unsur hara tanah sudah hilang akibat pupuk kimia atau pupuk an organik yang berlebi­han. Sehingga hasil produksinya san­gat minim dan tidak meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Ini menjadi faktor utama terjadi keti­dakstabilan produksi, yang berujung pada ketidakstabilan stok dan harga pada semua jenis kebutuhan pokok yang ada.Pemerintah dan Pemda segera be­ralih ke pertanian organik yang meng­utamakan kearifan lokal pertanian itu sendiri. Mulai produksi dari pembibi­tan secara lokal sampai kepada peny­iapan pupuk organik berbasis sampah atau limbah pertanian untuk meng­konversi atau mengganti secara ber­tahap atas pupuk kimia sampai dengan sepenuhnya menjadi pertanian organik yang berkesinambungan.

Dukungan full pemerintah dan pem­da harus benar-benar serius dalam inovasi ini, karena dalam merubah per­tanian konvensional ke pertanian or­ganik dibutuhkn pembiayaan yang ti­dak sedikit dan harus massal. Namun keuntungannya secara berkelanjutan, biaya pertanian organik dari tahun ke tahun akan berkurang dan produksi akan meningkat.

BACA JUGA:  Rakornis DP2KB Se-Sulteng Bahas Percepatan Penurunan Stunting, Sekda Abdullah: Diperlukan Dukungan Semua Pihak

Disitu perbedaan yang signifikan dengan pertanian konvensional, yang setiap tahun biaya operasional akan bertambah dan produksi tidak meningkat. Jadi tidak ada pilihan lain, kecuali beralih kepada pertanian or­ganik.

Tata niaga pertanian sering men­jadi salah satu titik paling lemah da­lam pembangunan pertanian. Bahkan sering menjadi kontribusi negatif ter­hadap kesejahteraan petani dan ber­dampak pada masyarakat konsumen. Seringkali petani harus membayar in­put tani (pupuk/saprodi) yang terlalu mahal dan/atau menerima harga jual hasil tani yang terlalu murah. Akibat­nya Indeks Nilai Tukar Petani (hitung-hitung taninya) cenderung jelek bagi petani itu sendiri.

Penyebabnya, antara lain karena pro­duksi yang terbatas, rantai tata niaga yang terlalu panjang dan pemain tata niaga eksploitatif yang tentu “diduga” didukung oleh oknum birokrasi korup­tif (menjadi pemandangan umum di republik ini sehingga stok dan harga menjadi langka dan tidak stabil).

Dari kondisi ini terjadilah ketidak­stabilan harga kebutuhan bahan pokok. Paling rawan dipermainkan oleh spekulan pada masa-masa tertentu dengan tingkat kebutuhan meningkat, sebut misalnya pada hari raya keag­amaan atau hari-hari raya lainnya.

Bangun Massif Sub Terminal Agrib­isnis Secara Regionalisasi Dengan membangun sektor perta­nian menjadi tangguh, industri per­dagangan atau pemasaran menjadi kunci kesuksesan sekaligus akan men­jaga kestabilan harga secara permanen. Karena ditunjang oleh kelembagaan pemasaran yang kuat serta pembangu­nan infrastruktur pertanian yang berke­lanjutan.

Ahirnya dengan pertanian yang tangguh tentu akan berorientasi pada pasar ekspor karena terjadi pening­katan produksi. Bila Indonesia akan menjadikan stabilatas pangan secara permanen harus segera mengurangi atau stop menjadi negara importir dan beralih menjadi eksportir pangan. In­donesia harus keluar dari ketergantun­gan pangan dari luar negeri. Indonesia harus dijadikan penyokong pangan utama dunia.

Sesungguhnya pemerintah sejak dahulu mempunyai dan sudah men­jalankan program pemasaran melalui sub terminal agribisnis (STA) terma­suk adanya Toko Tani Indonesia oleh pemerintah (Kementerian Pertanian), namun hal ini tidak berkembang mas­sif dan tidak terlalu berpengaruh, baik pada petani maupun terhadap mas­yarakat konsumennya, karena kurang sosialisasi serta petani tidak memiliki kelembagaan yang bisa memasarkan produksinya secara kelompok.

Akhirnya STA tersebut mati suri dan Toko Tani Indonesia akan kembali diuntungkan kepada orang per orang. Petani tidak ditunjang oleh kelem­bagaan yang kuat serta produksi mak­simal, itu semua disebabkan karena petani belum diarahkan meninggalkan pertanian konvensional, jadi produk­sinya tidak optimal.

Untuk mewujudkan tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan, terutama di sektor pertanian maka perlu dipersiapkan kebijakan strategis untuk memperbesar atau memper­cepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pe­masaran yang stabil dan berkesinam­bungan.

BACA JUGA:  Banggai Bersaudara siap Menggelar Event Pariwisata Bertaraf Internasional

Jiwa kewirausahaan masyarakat dan petani perlu pertumbuhan yang kuat, Karena ini merupakan salah satu faktor penting yang turut mem­beri kontribusi dalam kesuksesan pembangunan ekonomi. Lebih khu­sus dapat menghadapi dan mencegah para tengkulak yang akan merusak kestabilan harga kebutuhan pokok. Tengkulak memanfaatkan kelemahan petani dari sektor SDM dan pemasa­ran.

Dukungan kelembagaan baik lem­baga penyedia input produksi mau­pun lembaga pemasaran output dan perbankan. Hal tersebut akan memo­tivasi serta mengaktifkan petani untuk terus berproduksi dan meningkatkan hasil secara kontinyu dengan mutu yang dapat dipertanggung-jawabkan atau berkualitas.

Lembaga penyedia input produksi dapat berfungsi sebagai lembaga pe­masaran yang dapat mewakili petani sebagai intelijen pemasaran maupun penggerak produksi yang berlandas­kan pada kompetitif wilayah sehing­ga meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi biaya produksi, bi­aya transportasi dan kemudahan pe­masaran.

Untuk meningkatkan perannya pada sistem pemasaran produksi per­tanian maka petani melalui lembaga Primer Koperasi Tani membutuhkan sebuah tempat tetap pemasaran untuk mendukung proses sortasi, pengang­kutan,penyimpanan, pengawetan, pengemasan, dan sarana pertukaran informasi harga (jejaring pemasaran atau buyer tetap) baik masukan mau­pun keluaran yang dikordinasikan oleh suatu manajemen terpadu, da­lam sebuah lembaga pemasaran yang tetap dan sustainable.

Oleh sebab itu untuk memperlancar pola dan kegiatan pemasaran di ting­kat petani dan distribusi produk se­belum sampai kepada konsumen ahir dibutuhkan terminal agribisnis, mini­mal dibangun secara regional dalam setiap provinsi. Terminal agribisnis bertujuan memotong gerak langkah para tengkulak atau mafia pangan yang kerap kali mempermainkan har­ga kebutuhan pokok.

Sub Terminal agribisnis ditempat­kan pada posisi antara sumber produk­si pertanian dan konsumen ahir dan merata di seluruh Indonesia. Paling utama dalam terminal agribisnis terse­but adalah pelibatan secara langsung petani dalam gabungan primer koper­asi tani pada wilayah regional.

Point penting dari pembangunan fisik dan non fisik tersebut diatas dalam menjaga kestabilan harga ba­rang kebutuhan pokok, juga antara lain mendorong terjadi efisiensi dan peningkatan proses produksi serta pe­masaran hasil pertanian. Efek positif lainnya adalah menjaga sampah atau limbah pertanian sehingga tidak ma­suk ke wilayah pasar-pasar dalam kota.

Karena sampah dari hasil sortasi akan berhenti dan dikelola di kawasan terminal agribisnis dan hasil pengelo­laannya akan menjadi pupuk organik dan kembali akan dimanfaatkan oleh petani. Terjadi sebuah lingkaran pro­duksi dari dan oleh petani yang tak bersisa. Mari bangun Indonesia dari desa. Hanya itu yang menjadikan In­donesia bisa tangguh dan hebat. Se­lamat berinovasi….!! (https://www.kompasiana.com/hasrulhoesein/5ac659d­0f133446abd17d634/petani-tang­guh-sebagai-solusi-kestabilan-ke­butuhan-pokok)