OBORMOTINDOK.CO.ID. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk bisa berproses dan berinteraksi di dunia luar khususnya dengan semua masyarakat di sekitarnya. Pendidikan juga menjadi salah satu bekal terpenting di masa depan. Pendidikan itu sudah kita kenal sejak zaman sebelum Negara Indonesia merdeka hingga saat ini. Pendidikan menjadi salah satu hal pokok yang harus dipehatikan karena pendidikan mampu membentuk karakter pribadi setiap orang apabila sungguh-sungguh dalam menekuninya.
Mengulas sedikit tentang ditetapkannya hari pendidikan nasional, secara umum hari pendidikan nasional bukan hanya menjadi refleksi tapi sudah seharusnya dijadikan sebagai bahan evaluasi sudah sampai mana pendidikan di indonesia hari ini. Indonesia sejak berada pada era kolonialisme mencul pelopor pendidikan bagi kaum pribumi, yaitu yang kita kenal dengan bapak pendidikan atau Ki Hadar Dewantara.
Sosok tokoh asal Yogyakarta ini memang banyak meninggalkan begitu banyak warisan bagi dunia pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara telah melahirkan sistem pendidikan nasional bagi kaum pribumi dengan nama Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di yogyakarta itu telah mengajarkan kepada kita pribumi tentang pendidikan untuk semua yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan temannya di Yogyakarta.
Kita ketahui bersama bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan Mentri Pengajaran pertama Kabinet Presiden Soekarno yang kemudian menjadi Kementrian Pendidikan dan Pengajaran dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, sosok Ki Hajar Dewantara juga merupakan Pahlawan Nasional ke-2 yang ditetapkan Presiden pada tanggal 28 November 1959 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Hingga dengan Keppres itu dia juga ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
“Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani”, yang artinya “Di depan guru harus memberi contoh yang baik, di tengah-tengah muridnya harus menciptakan ide dan prakarsa, di belakang harus bisa memberi dorongan dan arahan. Sebuah semboyan dari bapak pendidikan yang tren disetiap hari pendidikan nasional bukan?
Banyak fase pendidikan yang terjadi di indonesia dikarenakan penyesuaian zaman dan kebutuhan dari pendidikan itu sendiri yang dimulai dari ajaran agama menjadi landasan pendidikan . Kedua, kepentingan penjajah menjadi landasan pendidikan di antaranya yaitu pendidikan pada masa Portugis, pendidikan pada masa Belanda (VOC), dan pendidikan pada masa Jepang. Ketiga, pendidikan pada masa Kemerdekaan. Keempat, pendidikan pada masa Orde Baru. Kelima, pendidikan pada masa Reformasi.
Mungkin setelah membaca sedikit dari tidak banyak ulasan diatas, benak kita timbul pertanyaan bagaimana pendidikan kita hari ? Sedang berada difase apakah kita?
Apakah pendidikan hari ini lebih baik dari fase sebelumnya, ataukah lebih baik fase sebelumnya dibanding fase saat ini?
Di fase yang dipenuhi kemajuan digital hari ini atau yang dikenal dengan industri 4.0 tentunya juga memacu perubahan pendidikan yang ada di indonesia yang akan berdampak pada pengajar maupun yang belajar. Yups, pengaruh yang saya katakan tidak selamanya negatif loh, begitupun sebaliknya. Maka, sedikit saya membahas tentang pendidikan yang saya rasakan satu tahun terakhir ini, ya pendidikan virtual.
Mendengar tentang judul pembahasan itu, mungkin banyak orang langsung berpikir tentang pendidikan berbasis teknologi di era digital-internet sekarang ini. Sayangnya anggapan itu salah. Tulisan ini adalah sebuah ratapan sekaligus harapan tentang dunia pendidikan secara umum, maupun
aktivitas akademik yang dilakukan secara khusus di ruang-ruang perkuliahan maupun bangku sekolah. Sebuah ratapan sekaligus harapan tentang pendidikan yang telah tercabut dari konteks kehidupan manusia yang penuh dengan warna dan hiruk pikuk peradaban, dan menjadi “virtual”.
Berdasarkan pengalaman belajar di salah satu perguruan tinggi selama setahun terakhir ini setelah ditetapkannya belajar daring dapatlah ditarik satu kesimpulan reflektif, begitu sulitnya membuka mata dan membangunkan diri kita dari tidur dogmatis yang kita lalui sekarang selaku mahasiswa . Harus kita yakini bahwa mengalami tidur dogmatis itu adalah orang yang tetap beraktivitas, namun aktivitas tersebut dijalankan secara mekanis.
Apa yang terjadi sekarang seolah kita tenggelam di dalam rutinitas, dan seakan kehilangan kesadaran kritis pada aktivitas yang kita lakukan. Kita tidak mengerti betul apa yang di lakukan. Jika ditanya mengapa? maka akan menjawab, sudah seperti ini bukan! Mengapa ini terjadi? Jangan-jangan yang mengalami tidur dogmatis ini bukan hanya mahasiswi/a, tetapi juga dosennya, dan mayoritas orang di dalam masyarakat kita.
Maka dari itu saya mengajak sahabat-sahabat untuk kemudian sudah seharusnya bersepakat bahwa salah satu sebabnya adalah metode pendidikan dan isi pendidikan yang diberikan di dalam perkuliahan dan sekolah sekarang ini tidak mengajarkan untuk membuka mata pada dunia. Pendidikan jatuh pada teknikalitas dan transfer pengetahuan teknis, tanpa ada usaha untuk menumbuhkan kesadaran tentang situasi dunia. Dalam arti ini, pendidikan kita dapat juga disebut sebagai pendidikan virtual, yakni pendidikan yang telah tercabut dari realitas, dan menjadi artifisial.
Maka apa yang disebut sebagai pendidikan kini terasa jauh dari hiruk pikuk penderitaan, emosi, dan perasaan manusia. Pendidikan seolah terputus dari konteks, dan menjadi “pertunjukan anonim” belaka. Pendidikan bukanlah usaha manusia untuk memahami dunia dengan segala kerumitannya, tetapi seni menghafal materi yang dimuntahkan pada saat menerima materi atau sekedar untuk mendapatkan nilai baik.
Dengan begitu secara tidak langsung bahwa integrasi pengetahuan dengan dunia kita mulai akan hilang, Di awal kuliah dosen tidak lagi mengajak mahasiswa untuk berdiskusi mengenai masalah-masalah atau problem yang terjadi, tidak lagi membahas situasi politik internasional terkini bahkan sampai pada situasi daerah .
Mahasiswa tidak lagi diajak untuk paham dan peka pada perkembangan dunia internasional, seperti berita mengenai krisis ekonomi, radikalisme, tragedi kemanusiaan, bencana alam, dan sebagainya. Memang lewat belajar virtual yang dibahas seringkali hampir terkait sesuai foksi fakultas apa mahasiswa tersebut. Namun relevansi dari belajar virtual tanpa tatap muka tersebut seakan kehidupan tidak terasa jelas dan seolah lari dari Konteks tujuan utama pendidikan.
Harusnya di samping menekankan aspek teknis dari materi kuliah, sih pengajar perlu mengajarkan mahasiswa berpikir analitis. Di dalam tradisi pemikiran rasionalisme, cara berpikir analitis tidak mau memberikan data-data baru, tetapi berusaha menarik kesimpulan-kesimpulan logis dari data dan fenomena yang sudah ada, namun seolah dengan adanya virtual kita sering kali dibuat nyaman dengan apatisme yang semakin meninggi karena tidak berada dalam satu wilayah untuk lebih mengajak berpikir dengan baik.
Bukan hanya kelemahan analisitis yang diakibatkan oleh pendidikan virtual, namun juga kritis hingga praksispun punah dengan sendirinya. Sebab, cara berpikir analitis dan kritis adalah praksis itu sendiri.
Pikiran adalah tindakan. Keduanya terpaut erat tanpa bisa terpisahkan, namun makin hari hal itu makin hanyut dan hilang lewat virtual.
Maka dari itulah sekali lagi, mari kita memperingati hari pendidikan nasional ini dengan merefleksi kembali mekanisme pendidikan yang kita sedang tempuh, jadikan relevansi tulisan ini untuk kebaikan bersama kita bersama. Tulisan ini mau meratapi gejala dunia pendidikan kita yang semakin hari semakin tercabut dari realitas. Dunia pendidikan yang menjadi menara gading, seolah tidak mau kotor dari derita dan air mata dunia.
Jadikan ini juga sebuah harapan tentang integrasi kembali pendidikan dan dunia. Harapan perubahan yang berpijak pertama-tama tidak pada sistem obyektif yang sudah ada, melainkan pada sistem organis yang pertama-tama bercokol di kepala kita, yakni pikiran. Kebaikan bersama hanya bisa diraih, jika kita memandang dunia ini dalam kaca mata integrasi, di mana segala sesuatu saling bertautan tanpa bisa terpisahkan. Mari kita sepakat bahwa pendidikan adalah salah satu unsur penting di dalam pertautan itu.
Harusnya sudah kita simpan dalam benak kita bahwa, pendidikan yang memadai maka demokrasi bisa tumbuh dengan subur, dan korupsi dalam segala bentuknya bisa dilenyapkan secara bertahap. Seorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apapun bukan karena keturunan orang
hebat, punya uang, ataupun punya kedudukan sosial tinggi. Tetapi semua itu karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara, karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa.**
Penulis : Abd Rahman Panigoro.
Senjend PMII Cab Banggai.