OBORMOTINDOK.CO.ID. Rumah Sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Di dalam proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat (pasien) di Rumah Sakit akan menimbulkan suatu hubungan hukum antara Rumah Sakit/Dokter dan Pasien. Hubungan hukum tersebut dikenal dengan istilah transaksi terapeutik. Secara tidak langsung, transaksi terapeutik ini dimulai ketika pertama kali pasien memutuskan untuk datang melakukan pengobatan di Rumah Sakit, kemudian pasien menerima dan menyetujui segala informasi tentang tindakan atau terapi yang akan dilakukan Dokter/Dokter Gigi dengan tujuan untuk berupaya melakukan sebaik mungkin guna penyembuhan penyakit pasien (inspanings verbintenis).

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hak dan kewajiban Dokter/Dokter Gigi dapat dilihat di dalam Pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hak dan kewajiban Tenaga Kesehatan dapat dilihat di dalam Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, serta hak dan kewajiban pasien dapat dilihat di dalam Pasal 31 dan 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Berdasarkan judul diatas, bahwa Rumah Sakit sebagai tempat yang rawan terjadinya kasus hukum? Jawabannya adalah Ya. Memang benar bahwa Rumah Sakit sebagai sarana kesehatan yang sangat rawan akan terjadinya kasus hukum. Mengapa demikian ? Dikarenakan di dalam hubungan antara Rumah Sakit/Dokter dan Pasien merupakan suatu hubungan yang memiliki risiko tinggi terjadinya pergesekan atas ketidakpuasan layanan kesehatan yang diberikan Rumah Sakit/Dokter/Tenaga Kesehatan lainnya kepada pasien.

Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini seringkali kita jumpai kasus yang beredar di media masa ataupun media sosial tentang kasus pelaporan yang dilakukan pasien/keluarga pasien atas pelayanan Rumah Sakit yang buruk, serta kejadian atas penganiayaan yang dilakukan keluarga pasien terhadap Tenaga Kesehatan di suatu Rumah Sakit. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Penulis dapat mengatakan, bahwa hal ini sering terjadi disebabkan adanya miskomunikasi dan kurangnya informasi atau pengetahuan yang diperoleh masyarakat sebagai penerima manfaat layanan kesehatan dan SDM Rumah Sakit sebagai penyelenggara layanan kesehatan dalam hal hak dan kewajiban apa saja yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan di dalam penyelenggaraan pelayanan di Rumah Sakit.

Apa yang harus dilakukan, jika terjadi ketidakpuasan layanan kesehatan yang didapatkan oleh pasien di Rumah Sakit. Hal ini telah diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa, setiap Pasien mempunyai Hak untuk mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan, mengajukan  usul,  saran,  perbaikan  atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya, menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana, dan mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui  media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan diatas dapat dilihat bahwa, pasien mempunyai perlindungan hukum yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan, namun semuanya itu tidak terlepas dari pengaturan yang berlaku di dalam suatu Rumah Sakit sebagai tempat layanan publik atau ada tahapan yang harus diikuti, yakni setiap Rumah Sakit pasti telah mempunyai sarana informasi tentang bagaimana tata laksana pelaporan ketika terjadi ketidakpuasan atas layanan kesehatan yang diterima. Pasien/keluarga pasien berhak melaporkan ke sarana yang telah disiapkan oleh Rumah Sakit baik dalam bentuk SMS/WA, kotak saran dan kritik, serta laporan secara verbal ke petugas atau Komite yang bertanggung jawab langsung mengenai etika dan hukum di Rumah Sakit yakni Komite Etik dan Hukum.

Selanjutnya, perlindungan hukum bagi Rumah Sakit/Dokter/Tenaga Kesehatan lainnya, jikalau terjadi kasus hukum, yaitu : Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila  pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif, Rumah Sakit  tidak  dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia, namun Rumah  Sakit  bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian  yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit dan Tenaga kesehatan berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional dan memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;

Konklusi dari tulisan ini adalah setiap elemen masyarakat mempunyai perlindungan hukum yang sama, baik itu badan penyelenggara usaha kesehatan (RS), SDM Kesehatan, serta Masyarakat (Pasien) serta diharapkan ketika terjadi ketidakpuasan atas pelayanan yang didapatkan di Rumah Sakit, pasien/keluarga pasien harus benar-benar berkepala dingin tanpa tersulut emosi mengambil tindakan yang benar untuk melaporkan ketidakpuasan layanan di Rumah Sakit dengan mengikuti prosedur/ketentuan yang telah ditetapkan. Kemudian, diharapkan untuk bisa menyelesaikan masalah terlebih dahulu dengan metode Alternative Dispute Resolution (ADR) jalur non litigasi yang dikenal dengan cara negosiasi dan/atau mediasi yang bertujuan untuk mufakat mencari jalan keluar dari permasalahan yang terjadi (win-win solution), jikalau memang tahapan pertama tidak bisa dicapai, proses bisa dilanjutkan dengan menggunakan jalur litigasi (hukum), dimana kekurangan dari jalur litigasi ini adalah membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit dalam menyelesaikan suatu kasus pelaporan pidana (Polisi) ataupun perkara perdata (Pengadilan Negeri).

 

Penulis:

Djimmy H.P Babo, S.KM, M.H (Kes)

Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit Sido Waras Mojokerto.

 

ombatui