Sulteng Rancang Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Hadapi Perubahan Iklim

oleh
Penulis: Rilis  |  Editor: Redaksi

OBORMOTINDOK.CO.ID. PALU– Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah dalam membangun ketahanan terhadap perubahan iklim dan risiko bencana yang semakin kompleks. Pendekatan kolaboratif ini dikenal dengan konsep triple helix.

Hal tersebut disampaikan oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Sulteng, Dr. Rudi Dewanto, S.E., M.M., saat membacakan sambutan tertulis Gubernur Sulawesi Tengah pada pembukaan Workshop Kebijakan Tata Ruang dan Konsep Pembangunan Berbasis Iklim dan Minim Risiko Bencana, yang digelar di Hotel Sutan Raja, Kamis (31/7/2025).

“Kolaborasi triple helix sangat penting agar kebijakan yang dihasilkan dapat inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” ujar Rudi Dewanto.

Workshop tersebut merupakan inisiatif Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) dan mendapat apresiasi dari pemerintah sebagai langkah strategis dalam meningkatkan pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap isu kebencanaan. Sulteng memang termasuk wilayah yang rawan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.

Lebih lanjut, Rudi Dewanto mengungkapkan bahwa Sulawesi Tengah juga menghadapi tantangan dari dampak deforestasi serta aktivitas pertambangan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, pendekatan berbasis lanskap yang diusung YSI dinilai sangat relevan dalam upaya mitigasi risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.

“Pemangku kebijakan perlu merancang strategi tata ruang dan pembangunan yang holistik. Tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan prinsip keberlanjutan lingkungan dan mitigasi risiko bencana,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur YSI Andreas Subiyono menjelaskan bahwa program yang dilaksanakan menyasar dua lanskap prioritas, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu dan pesisir pantai barat Donggala–Palu. Kedua wilayah tersebut memiliki tingkat risiko tinggi terhadap bencana seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami.

BACA JUGA:  Gerak Bangkep Gelar Deklarasi Terbuka

“Program ini akan berlangsung hingga tahun 2026,” ungkap Andreas, yang juga menyebut bahwa YSI sebelumnya terlibat aktif dalam upaya pemulihan wilayah Pasigala pasca-bencana 2018.

Kegiatan ini diikuti oleh berbagai pihak, termasuk perangkat daerah, instansi vertikal, organisasi profesi, komunitas, serta mitra kerja YSI yang berasal dari kawasan Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala).**