OBORMOTINDOK.CO.ID. Banggai— Aksi demonstrasi ratusan warga Desa Masing, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang menuntut keadilan atas dugaan perampasan lahan oleh PT Sawindo Cemerlang pada Minggu, 9 November 2025, terus menjadi sorotan publik. Unjuk rasa yang berujung pada pemboikotan kantor perusahaan itu kini mendapat dukungan dari sejumlah aktivis dan tokoh muda Banggai.
Pendiri Ruang Setara (Rasera) Project sekaligus tokoh pemuda Batui, Aulia Hakim, menilai keresahan warga Masing merupakan akumulasi dari kelalaian pemerintah daerah dan DPRD Banggai yang dinilai tidak serius menangani persoalan agraria di wilayah tersebut.
“Keresahan rakyat Masing adalah akibat pemerintah dan DPRD tutup mata. Alih-alih melindungi hak rakyat, mereka seolah membiarkan perusahaan merampas tanah warga. Bupati harusnya bersikap tegas, bukan diam,” tegas Aulia.
Menurutnya, konflik agraria antara warga dan PT Sawindo Cemerlang sudah terjadi sejak perusahaan itu pertama kali beroperasi di wilayah Batui. Sejak awal, perusahaan disebut kerap menggusur lahan milik masyarakat tanpa izin dan tanpa pemberitahuan kepada pemilik sah.
“Warga sudah berkali-kali melapor, tapi tidak pernah ada penyelesaian. Bahkan ketika pemerintah melarang aktivitas perusahaan, PT Sawindo tetap bekerja seolah kebal hukum,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Aulia mendesak Bupati Banggai agar segera menghentikan seluruh aktivitas PT Sawindo Cemerlang dan mengevaluasi izin perusahaan yang dinilai menjadi sumber konflik berkepanjangan.
“Kalau pemerintah tidak tegas, rakyat akan terus tertindas. Sawindo sudah berulang kali melanggar aturan, jadi sudah seharusnya izinnya dicabut,” ujar Aulia.
Berdasarkan data yang dimiliki Aulia, konflik ini telah berlangsung sejak 2009/2010, saat PT Sawindo Cemerlang mulai menggusur lahan petani secara paksa.
Pada 2017, perusahaan disebut memaksa petani menandatangani Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK) dan Surat Pengakuan Utang (SPHu), yang dianggap merugikan warga. Karena menolak, sejumlah petani bahkan dilaporkan ke Polsek Batui oleh pihak perusahaan.
Konflik semakin memanas pada 2015–2016, ketika hasil panen tandan buah segar (TBS) sawit dari lahan plasma tidak dibagikan sesuai kesepakatan. Hingga 2020, sebagian besar petani hanya menerima hasil panen beberapa kali, sementara yang lain tidak menerima apa pun.
Berbagai upaya penyelesaian mulai dari surat resmi, mediasi kecamatan, hingga somasi hokum tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, petani yang mempertahankan lahannya malah dituduh mencuri buah sawit.
Pada 8 April 2025, Pemerintah Desa Masing resmi melayangkan somasi terhadap PT Sawindo Cemerlang karena diduga melakukan penyerobotan lahan milik warga dan aset desa.
Kepala Desa Masing, Satuwo Andi Tahang, menegaskan bahwa tindakan perusahaan sudah termasuk perbuatan melawan hukum dan mencerminkan gaya kolonial dalam memperlakukan masyarakat.
“Perusahaan sawit ini jelas-jelas merampas hak warga yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang,” tegas Satuwo.
Masyarakat Desa Masing menegaskan, aksi mereka tidak akan berhenti sebelum ada tanggapan resmi dari pemerintah dan pihak perusahaan. Warga menolak meninggalkan lokasi hingga ada keputusan penyelesaian sengketa tanah secara adil dan terbuka.
Aksi boikot ini menjadi simbol kemarahan rakyat terhadap ketimpangan antara kekuasaan modal dan hak rakyat kecil. Warga menegaskan, perjuangan mereka bukan bentuk pelanggaran hukum, melainkan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan atas nama investasi.**






