Oleh: Ahmed Mauladi Hakim
OBORMOTINDOK.CO.ID. BANGGAI– Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan hayati yang tinggi. Di antara fauna endemik yang hidup di kawasan ini, burung Maleo (Macrocephalon maleo) menjadi simbol keunikan biodiversitas Sulawesi. Sayangnya, spesies yang dilindungi ini kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, terutama di wilayah Kecamatan Batui.
Burung Maleo tidak hanya penting dari segi ekologis, tetapi juga memiliki nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat adat Batui. Telur Maleo bahkan digunakan dalam ritual adat Molabot Tumpe, menandakan adanya keterikatan spiritual yang mendalam antara manusia dan alam. Namun, keberadaan Maleo semakin terancam akibat alih fungsi hutan adat Bakiriang menjadi area perkebunan milik perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).
Perkebunan Sawit Rusak Ekosistem dan Ganggu Populasi Maleo
Ekspansi besar-besaran industri monokultur kelapa sawit di Kabupaten Banggai telah mengubah bentang alam secara drastis. Hutan alami yang menjadi habitat utama Maleo kini terpecah-pecah dan tergantikan oleh lahan perkebunan. Studi yang dipublikasikan dalam Current Biology (2015) mengungkap bahwa konversi hutan menjadi kebun sawit menyebabkan fragmentasi habitat, mengurangi kemampuan satwa liar untuk mencari makan, pasangan, dan berkembang biak.
Menurut laporan WWF (2020), hanya sekitar 15% keanekaragaman hayati dari hutan alami yang masih bisa ditemukan di perkebunan sawit. Burung Maleo, yang beraktivitas di lantai hutan dan memakan biji-bijian, buah, serta serangga, kini mengalami gangguan serius akibat aktivitas penebangan, penggunaan alat berat, dan pengeringan lahan.
Laporan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) tahun 2019 mencatat bahwa beberapa lokasi habitat peneluran Maleo, seperti Toili dan Batui Selatan, telah berubah fungsi menjadi jalan akses dan area perkebunan sawit. Luas konsesi sawit di Banggai saat ini mencapai sekitar 27.170 hektar, dikelola oleh sejumlah perusahaan seperti PT KLS, PT Wira Mas Permai, PT Delta Subur Permai, dan PT Sawindo Cemerlang. Bahkan, citra satelit menunjukkan bahwa sekitar 19.216 hektar tanaman sawit berada di luar area izin resmi.
Lemahnya Penegakan Hukum dan Ketimpangan Kuasa
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan pemerintah serta kebijakan yang cenderung berpihak pada korporasi. Banyak perusahaan mendapatkan izin pembukaan lahan tanpa melalui proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat. Ekspansi PT KLS di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, khususnya Pasal 16 yang melarang aktivitas yang mengubah keutuhan kawasan konservasi.
Yayasan KOMIU mencatat deforestasi seluas 19.972 hektar di Banggai antara tahun 2000 hingga 2020, dengan 3.532 hektar di antaranya berada dalam kawasan konservasi. Hal ini menunjukkan adanya kelalaian negara dalam melindungi kawasan strategis dengan nilai ekologis tinggi.
Masyarakat Adat Terpinggirkan
Selain kerusakan lingkungan, ekspansi sawit juga mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah dan budaya mereka. Proses alih fungsi lahan kerap tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal dan mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis. HGU (Hak Guna Usaha) diberikan tanpa pertimbangan terhadap dampak sosial dan lingkungan jangka panjang.
Perlunya Paradigma Baru dalam Pembangunan Ekonomi
Kasus Maleo di Banggai merupakan cermin nyata dari konflik antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Sudah saatnya paradigma pembangunan berubah dari eksploitasi sumber daya menjadi pendekatan yang berkeadilan ekologis. Seperti yang disampaikan E.F. Schumacher dalam Small is Beautiful, pembangunan seharusnya berorientasi pada manusia dan alam, bukan semata angka-angka pertumbuhan.
Ekspansi sawit di Banggai merupakan bentuk eksploitasi ekologis—kekerasan terhadap alam yang berdampak sistemik. Burung Maleo bukan sekadar korban, melainkan simbol perlawanan ekologis terhadap model pembangunan yang abai terhadap keseimbangan lingkungan.
Menjaga Keberlanjutan, Menyelamatkan Masa Depan
Pemerintah daerah dan pusat harus segera mengambil langkah tegas untuk menertibkan perluasan sawit yang tidak sesuai aturan, memperkuat pengawasan di kawasan konservasi, serta melibatkan masyarakat lokal sebagai penjaga ekosistem. Jika tidak, hilangnya burung Maleo bisa menjadi pertanda awal keruntuhan ekosistem yang lebih luas, sebagaimana dikatakan naturalis Roger Tory Peterson:
“Birds are indicators of the environment. If they are in trouble, we know we’ll soon be in trouble.”
“Burung adalah penanda lingkungan. Jika mereka dalam masalah, kita tahu kita pun akan segera mengalaminya.**