OBORMOTINDOK.CO.ID. BANGGAI— Dukungan terhadap gerakan aksi Kepala Desa dan warga Desa Masing, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, terus mengalir. Salah satunya datang dari anggota DPRD Banggai Komisi I, Rika Serifudin, yang secara tegas menyatakan keberpihakan kepada masyarakat.
Rika, legislator asal Dapil IV yang meliputi Kecamatan Batui, Batui Selatan, Moilong, Toili, dan Toili Barat, menegaskan bahwa persoalan sengketa lahan antara warga Masing dan PT Sawindo Cemerlang sudah ia ketahui sejak masih kecil.
“Saya mendukung aksi demo masyarakat Masing terhadap Sawindo. Ini persoalan lama. Waktu saya masih anak-anak pun masalah ini sudah sering terdengar,” tegas Rika saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (11/11/2025).
Ia mengakui bahwa meski Komisi I tidak menangani langsung persoalan sengketa ini, tetapi sebagai wakil rakyat dari Dapil IV ia merasa berkewajiban bersuara.
“Saya berada di Komisi I, memang bukan yang mengurus kasus lahan. Tapi sebagai anggota DPRD dari dapil yang sama, tidak enak rasanya jika saya tidak memberikan komentar. Apalagi desa Masing adalah bagian dapil saya,” ujarnya.
Menurut Rika, aksi protes yang memicu kericuhan di Batui Selatan tak lepas dari kekecewaan masyarakat terhadap PT Sawindo Cemerlang yang tidak menjalankan rekomendasi DPRD Banggai hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Padahal pemerintah daerah telah menindaklanjuti rekomendasi itu dengan membentuk Pokja, namun perusahaan dinilai tidak mengindahkannya.
Warga Desa Masing memprotes dugaan penguasaan lahan oleh PT Sawindo Cemerlang. Mereka menilai perusahaan melakukan eksekusi lahan yang seharusnya berada di Desa Sinorang seperti tertulis dalam dokumen perusahaan, tetapi praktik di lapangan justru dilakukan di wilayah Desa Masing.
Lahan warga yang telah ditanami jati berusia empat tahun dan tanaman kakao juga digusur perusahaan dengan alasan memiliki izin.
Pemerintah Desa Masing menduga dokumen perusahaan yang digunakan sebagai dasar izin tidak sesuai bahkan mungkin tidak valid. Karena itu, mereka meminta pencocokan dokumen perusahaan dengan bukti kepemilikan tanah warga.
DPRD Banggai telah menerbitkan Surat Rekomendasi Nomor 500.7/364/DPRD terkait penyelesaian sengketa lahan PT Sawindo Cemerlang. Poin penting rekomendasi tersebut antara lain:
a. Menghentikan sementara seluruh aktivitas perluasan perkebunan PT Sawindo Cemerlang di Desa Masing dan sekitarnya hingga ada keputusan bersama antara pemerintah desa, kecamatan, Pokja, dan perusahaan.
b. Menghentikan sementara pembayaran hasil produksi sawit kepada pemilik lahan plasma sambil menunggu verifikasi sesuai aturan.
c. Mengembalikan lahan masyarakat di wilayah IUP dan HGU yang belum dibayarkan ganti ruginya.
d. Menyesuaikan luasan IUP dan HGU perusahaan sesuai ketentuan hukum.
e. Surat ini ditandatangani Ketua DPRD Banggai, H. Saripudin Tjatjo, SH.
Tokoh pemuda Batui, Aulia Hakim, menyebut konflik antara masyarakat dan PT Sawindo Cemerlang telah berlangsung sejak 2009–2010, ketika perusahaan mulai menggusur lahan petani.
Pada 2017, perusahaan diduga memaksa petani menandatangani Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK) dan Surat Pengakuan Utang (SPHu), yang merugikan warga. Bahkan beberapa petani dilaporkan ke Polsek Batui karena menolak.
Masalah semakin membesar pada 2015–2016 ketika hasil panen tandan buah segar (TBS) dari lahan plasma tidak dibagikan sesuai kesepakatan. Banyak petani hanya menerima beberapa kali hingga 2020, sementara sebagian lainnya tidak menerima hasil sama sekali.
Berbagai upaya penyelesaian seperti mediasi, somasi, dan surat resmi tidak membuahkan hasil. Warga yang mempertahankan lahannya justru dituduh mencuri buah sawit.
Pada 8 April 2025, Pemerintah Desa Masing melayangkan somasi resmi kepada PT Sawindo Cemerlang atas dugaan penyerobotan lahan milik masyarakat dan aset desa.
Kepala Desa Masing, Satuwo Andi Tahang, menegaskan bahwa tindakan perusahaan merupakan pelanggaran hukum.
“Perusahaan ini jelas-jelas merampas hak warga yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang,” ujarnya.
Masyarakat Desa Masing menegaskan bahwa aksi mereka tidak akan berhenti sebelum pemerintah dan perusahaan memberikan tanggapan resmi. Warga juga menolak meninggalkan lokasi aksi hingga sengketa tanah diselesaikan secara adil dan transparan.
Aksi boikot ini disebut sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap ketimpangan antara kekuasaan modal dan hak masyarakat kecil.
Warga menegaskan perjuangan yang mereka lakukan bukan tindakan melanggar hukum, melainkan upaya mempertahankan hak mereka secara sah.**






