OBORMOTINDOK.CO.ID. Banggai– Kelangsungan air bersih sebagai sumber kehidupan begitu vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk itu PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) menginisiasi kampanye kesadaran terhadap kelestarian sumber daya air bersih dengan berkolaborasi bersama National Geographic Indonesia dan menggandeng Iguana (Ikatan Generasi Muda Pecinta Alam Kabupaten Banggai) Tompotika, mengadakan “Ekspedisi Air Untuk Masa Depan”. Ekspedisi ini telah berlangsung 17-24 Desember 2025 di kota Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Kota Luwuk yang ditopang hutan pegunungan karst yang dikenal sebagai Kota Air, membentang di lereng pegunungan pesisir Timur Sulawesi Tengah, dihuni lebih dari 70 ribu jiwa. Sejumlah mata air di hutan pegunungan mengalir dan membentuk aliran Sungai Simpong dan Sungai Soho hingga bermuara di pesisir kota. Bahkan di tengah pemukiman kota, terdapat sejumlah mata air seperti Mata Air Mambual, Mangkio, Supak, Kontraan, dan lainnya. Sumber-sumber air ini dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi warganya. Tentunya, kelestarian air sebagai penopang kehidupan kota ini perlu dilestarikan.
DSLNG melihat, peran vital air di kota Luwuk yang melimpah perlu ditopang dengan tingginya kesadaran untuk merawat dan melestarikannya di kawasan hulu hingga ke hilir dengan menjaga hutan dan Daerah Aliran Sungai.
“Untuk itu, kami dari DSLNG menginisiasi ‘Ekspedisi Air Untuk Masa Depan’ yang disambut baik dari National Geographic Indonesia dan kawan-kawan dari Iguana Tompotika yang memiliki visi dan perhatian yang sama terhadap keberlangsungan kekayaan sumber daya air ini agar tetap menjadi anugerah, bukan bencana di masa depan. Dengan kampanye melalui ekspedisi ini, kami berharap semua pihak semakin menyadari dan peduli akan pentingnya menjaga air untuk masa depan kita. Dan ini sejalan dengan program Pemerintah Daerah Banggai untuk pengelolaan air bersih,” terang External Communication Supervisor DSLNG, Rahmat Azis, yang menjadi bagian dari tim ekspedisi ini.
Sebagai gerakan kampanye kesadaran lingkungan hidup, ekspedisi ini nantinya akan dikampanyekan dalam bentuk buku dan video dokumenter oleh National Geographic Indonesia agar menginspirasi semua pihak untuk berkolaborasi dalam menjaga keberlangsungan dan pemanfaatan air bersih bagi kehidupan.
Dokumentasi ekspedisi yang dibukukan ini akan dicetak sebanyak seribu eksemplar dan akan dibagikan kepada pihak-pihak terkait di daerah.
“Ekspedisi ini semoga menginspirasi semua pihak untuk lebih peduli terhadap pemanfaatan potensi air bersih di kota Luwuk dan sekitarnya yang berkelanjutan. Bukan hanya sebagai sumber air bersih bagi konsumsi warga kota, tapi juga untuk pengembangan sektor pariwisata air terjun dan pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan kelestarian alam, hutan penyangga kota, dan daerah aliran sungai. Sumbangsih ini sejalan dengan visi kami di DSLNG terhadap kelestarian lingkungan hidup untuk tumbuh bersama masyarakat sekitar Kilang LNG kami. Kami berharap kampanye ini tidak hanya selesai pada ekspedisi ini, tapi kelanjutannya jauh lebih penting bagi semua pihak,” jelas Rahmat.
National Geographic sendiri merupakan jurnal resmi dari National Geographic Society, sebuah organisasi nirlaba di bidang keilmuan dan pendidikan yang berpusat di Washington, D.C., Amerika Serikat. Selama lebih dari 130 tahun telah menginspirasi publik untuk lebih peduli pada planet ini.
Setiap bulannya National Geographic Indonesia (NGI) menyajikan kisah-kisah upaya pelestarian dari penjuru dunia. Perhatiannya meliputi geografi, arkeologi dan ilmu alam, promosi konservasi lingkungan, studi budaya dan sejarah dunia. NGI meyakini kekuatan sains,
penjelajahan, dan cara bertutur yang mengubah dunia.
Managing Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata Thamrin menuturkan, ekspedisi ini diawali di lintasan licin dan terjal di bukit karst di mana Mata Air Uwe Sangkolong memancar di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut. Lalu berlanjut di aliran Mokokawa dan Sapo Langkaii. Tim ekspedisi gabungan juga menelusuri sejumlah air terjun dan berjibaku dengan medan-medan curam di hutan penyangga kota.
Ekspedisi ini juga mengungkap data dan fakta kawasan hutan dan di daerah aliran sungai, hubungan budaya dan seni terkait air, serta tantangan sumber daya air Luwuk saat ini dan di masa depan.
“Saya tertarik dengan toponiminya, yang bermakna ‘sungai sepotong’. Mata air ini memancar dari bukit karst, mengalir sekitar seratusan meter lalu melesap ke dalam bumi kembali. Sebuah penanda alam yang memukau bagi kami”.
Jarak lintasan dari Camp Mokokawa ke Mata Air Uwe Sangkolong sejatinya tidak jauh, sekitar satu kilometer. Namun dengan lintasan pendakian dengan sudut kemiringan mencapai 50-60 derajat. Kami dipandu kawan-kawan Iguana, komunitas pecinta alam yang peduli pada pelestarian alam di Luwuk.
Narasi air di Luwuk begitu memikat minat insani. Bentang perbukitan karstnya menyimpan air, namun kota ini memiliki tantangan dalam penyediaan air bagi warganya. Sebelum terlambat, penyelamatan hutan-hutan di kawasan karst turut menyelamatkan peradaban kota ini, kata Yoan, sapaan akrabnya.
“Air adalah berkah semesta. Ketika warga masih memiliki tradisi memuliakan air dan penjaga sumber air, saya meyakini kebaikan-kebaikan air untuk masa depan Luwuk,” kata Yoan dengan optimis.
Ketua Iguana Tompotika, Mohammad Hidayat menyebutkan, ini merupakan sebuah inisiatif penting dan bermakna dalam upaya memahami serta menjaga sumber-sumber kehidupan di Kabupaten Banggai. Ekspedisi ini tidak hanya menghadirkan kegiatan eksplorasi ilmiah, tetapi juga membuka ruang kesadaran publik tentang peran penting mata air bagi keberlanjutan hidup masyarakat Kota Luwuk.
Melalui ekspedisi ini, kita diajak melihat secara langsung kondisi mata air, tantangan ekologis yang dihadapi, serta ancaman nyata yang dapat mengganggu ketersediaan air bersih di masa kini dan masa mendatang. Pendekatan berbasis riset, dokumentasi, dan edukasi yang dilakukan menjadi langkah strategis dalam membangun pemahaman bersama bahwa mata air bukan sekadar sumber air, melainkan fondasi utama kehidupan, kesehatan, dan pembangunan daerah.
Ekspedisi ini juga menjadi pesan kuat bahwa diperlukan kebijakan yang berpihak pada perlindungan lingkungan, khususnya dalam menjaga kawasan resapan air, menghentikan aktivitas yang berpotensi merusak mata air, serta mendorong program rehabilitasi sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi sandaran kebutuhan dasar air minum masyarakat Kota Luwuk.
“Sudah saatnya pengelolaan mata air ditempatkan sebagai agenda strategis daerah, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, dunia usaha, komunitas, hingga masyarakat. Ekspedisi ini membuktikan bahwa kolaborasi lintas sektor mampu melahirkan upaya nyata dalam menjaga lingkungan dan sumber daya alam secara berkelanjutan,” ujarnya.
Ia berharap semoga ekspedisi ini menjadi titik awal dari langkah-langkah nyata dan berkelanjutan dalam melindungi mata air kota Luwuk untuk hari ini dan masa depan. ***






