OBORMOTINDOK.CO.ID. – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal dalam RUU KUH Pidana dan ITE yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.

Hal ini dikemukakan oleh Ketua Umum AJI Sasmito Madrim di Jakarta, Selasa (5/10/2021).

Menurutnya, beberapa pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi, karena mudah dipidanakan.

Misalnya, kata Sasmito, pasal yang mengatur tindakan “menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum”.

Menurutnya, semua tindakan itu adalah karakter dari pekerjaan jurnalis. Jurnalis berkarakter menginformasikan kepada khalayak luas.

“Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari,” ujar Sasmito.

Desakan AJI ini setelah DPR menyetujui empat RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada rapat paripurna, Kamis (30/9/2021). Dua di antaranya adalah RUU KUH Pidana dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

RUU KUH Pidana adalah satu dari beberapa RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapat protes besar dari masyarakat dan mahasiswa pada September 2019. Protes terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dan memakan korban setidaknya lima mahasiswa meninggal.

Sasmito mengatakan, AJI mencatat lebih dari dua puluh pasal yang mengancam kebebasan pers dan dapat mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya, serta mengancam demokrasi.

Pasal-pasal itu antara lain pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden;

Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah;

Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa;

Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong;

Pasal 263 tentang berita tidak pasti;
Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan;

Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama;

Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara;

Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; dan
Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

“Sedangkan UU ITE masih menjadi momok kekerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia,” tambahnya.

Koalisi Serius Revisi UU ITE yang adalah kolaborasi 24 organisasi masyarakat sipil termasuk AJI, kata Sasmito menganalisis bahwa ada 8 pasal bermasalah yang membelenggu ruang kebebasan berekspresi.

Pertama, pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik. Pasal ini menjerat Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin pad 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Kedua, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.

“Jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi, divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel, dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan,” tuturnya.

Ketiga, Pasal 40 ayat (2b). Sasmito menuturkan pasal tersebut memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

“Pasal ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers dan menunggu putusan majelis hakim,” katanya.

Tak hanya itu, kata Sasmito, AJI mendesak DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan RUU KUH Pidana dan RUU ITE.

Pelibatan publik, kata Sasmito, adalah kewajiban yang harus dijalankan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.

Selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat seremonial dan tidak diberi waktu yang cukup dalam memberi masukan.

Akibatnya, komunikasi berkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat.
AJI, katanya, mendorong penguatan etika jurnalis. Beberapa ketentuan dalam RUU KUH Pidana yang menyentuh etika, misalnya tentang kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 263).

Pasal tersebut berbenturan dengan isi dalam UU Pers (Pasal 15) yang menghendaki agar narasumber yang merasa liputan media tidak benar, menggunakan hak jawabnya.

Berdasarkan UU Pers, media wajib membuat hak jawab dari narasumber, sementara RUU KUH Pidana tidak mengakomodasi mekanisme pemberian hak jawab ini.

Pasal lain yang tidak sesuai UU Pers, kata Sasmito, adalah pasal mengenai pemberitaan terhadap suku, golongan, atau agama.

“Dalam menghadapi masalah ini, UU Pers lebih mengedepankan penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi (hak jawab atau Dewan Pers) bukan hukuman pidana, karena delik pers yang berkaitan dengan masalah ini seharusnya ditempatkan sebagai masalah etika, bukan malah ditempatkan sebagai sebuah kejahatan,” katanya.(kr)

Sumber: Suara.com

Phian