Penulis: RIDHA RISMA YUNITA S.I.Kom
OBORMOTINDOK.CO.ID. Banggai– Di Sumatera dan Aceh bencana melahap rumah, memutus kehidupan dan meluapkan duka hingga ke ujung jari. Penghujung tahun 2025 ini bencana banjir dan longsor mengepung kedua wilayah tersebut tanpa ampun. Saat semua bergerak menyambung harapan, ada pertanyaan klise namun menyakitkan: mengapa respon Pemerintah selalu tampak satu langkah di belakang para relawan? di layar gawai, narasi penanganan bencana justru didominasi oleh gerakan akar rumput.
Dalam diskursus Ilmu Komunikasi kita mengenal Computer-Mediated Communication (CMC) atau komunikasi bermediakan komputer istilah teknis yang meskipun terdengar kaku, namun, di tengah bencana ini, CMC menjelma menjadi “napas” dan kekuatan yang menghubungkan korban dengan nurani publik, lebih-lebih menjadi suatu kekuatan moral. CMC adalah proses pertukaran pesan melalui perangkat digital dan jaringan yang mencakup berbagai format.
selain itu, CMC juga berfokus pada bagaimana digitalisasi mengubah dinamika sosial, cara manusia membangun hubungan, serta bagaimana penggunaan simbol-simbol kreatif dengan tujuan menggantikan isyarat non-verbal yang hilang. CMC memiliki dua sifat utama: sinkron (seperti video call) dan asinkron (seperti media sosial), tak hanya itu, CMC memungkinkan terciptanya medium interaksi yang melampaui batasan geografis serta memberikan fleksibilitas bagi penggunanya.
Menyoal fenomena ini, bencana di Sumatera dan Aceh sebetulnya bukan sekadar masalah teknis ketersediaan logistik, obat-obatan atau bentuk bantuan lainnya. Namun, kemajuan teknologi dan kegagalan birokrasi bertemu dalam satu piksel yang sama sebagai bentuk tidak memahami CMC yang kini mengubah drastis sebuah lanskap kekuatan informasi di Indonesia.
Komunikasi Birokrasi Vs Realitas
Teori Komunikasi Klasik memandang Pemerintah adalah pemilik tunggal otoritas informasi. Pada kenyataanya, ada hirarki yang seringkali menjebak Pemerintah dalam pola komunikasi yang mengutamakan verifikasi berjenjang, kaku dan memakan waktu sehingga memberi jeda pada informasi dan pernyataan resmi. Era digital melalui fenomena Minimization of Status akhirnya meruntuhkan hirarki itu, saat Pemerintah terjebak, relawan atau bahkan korban di pelosok Aceh dan Sumatera berbekal teknologi yang tersisa ataupun starlink saat jaringan terputus lebih mampu menghadirkan realitas apa adanya. Akibatnya, saat Pemerintah mengeluarkan rilis, informasi tersebut sudah terlanjur basi dan terkesan lamban bagi masyarakat yang membutuhkan kepastian informasi saat itu juga.
Saat ini unggahan video maupun foto dari relawan dan korban lebih kredibel dari “stempel resmi” lembaga Pemerintah.
Ketidaksigapan Pemerintah yang terjebak bergerak mengikuti ritme birokrasi dan mengabaikan asinkron menghadirkan pengkhianatan emosional bagi korban, relawan dan masyarakat. Saat semua sedang membutuhkan “kehadiran” (presence) dan kecepatan sebagai bentuk kepedulian, birokrasi justru sibuk memverifikasi data, saat nyawa sedang bertarung dengan arus, ketinggian dan ketidakpastian, kehati-hatian pemerintah mengakibatkan kekecewaan dan distrust masyarakat.
Jejak yang Menolak Lupa dan Keintiman Digital
Pandangan Online Disinhibition Effect dalam CMC memperparah gejolak ketidaksigapan Pemerintah menyikapi keadaan darurat dari bencana ini. Pengkhianatan emosional yang meluap di internet membuat masyarakat merasa tidak lagi memiliki jarak dan tidak lagi segan melontarkan kritik pedas kepada Pemerintah. Terlebih, masyarakat Sumatera dan Aceh telah kehilangan rasa sungkannya pada kekuasaan. Internet telah memberi mereka “pedang” untuk membedah ketidaksigapan Pemerintah secara terbuka, tanpa basa-basi, dan tanpa sekat. Diperparah status bencana nasional masih jadi hal yang paling dihindari Pemerintah hari ini.
Informasi yang diproduksi ulang oleh masyarakat akan menjadi senjata untuk menagih komitmen Pemerintah.
Tentu kita semua tahu, ada sebuah sifat abadi dari komunikasi digital: menolak untuk dilupakan (persistence). Apa yang ditampakan oleh Pemerintah hari ini tidak akan hilang, setiap pengabaian yang terjadi di lapangan, setiap janji yang diberikan; jaminan logistik dan fasilitas, rehabilitasi dan rekonstruksi, akan terus tersimpan dalam gawai.
Lewat teori Hypersonal dalam CMC, kita akan memahami mengapa kita merasa begitu dekat dengan mereka yang tidak pernah kita temui. Melalui layar, kita melihat angka-angka kerusakan dan kehilangan, semua kerja-kerja para relawan di saat otoritas terjebak dalam labirin prosedural. Relawan berhasil melakukan apa yang gagal dilakukan pemerintah: membangun keintiman digital. Dimata masyarakat, relawan berhasil membangun jembatan rasa dan empati publik, sementara Pemerintah sibuk menghitung angka-angka, di saat relawan terfokus merangkai narasi kemanusiaan; membuat publik merasa andil menyelamatkan sesama.
Gejolak dukungan mengalir kepada relawan. Mengapa publik lebih percaya relawan? Teori Hyperpersonal Model menjelaskan bahwa komunikasi digital memungkinkan kita membangun persepsi yang sangat mendalam terhadap orang lain. Kehadiran Sosial berhasil di bangun relawan pada situasi darurat saat ini. Mereka tidak hanya menggerakan bantuan kemanusiaan, tapi mencoba “merasakan” tragedi yang menimpah Sumatera dan Aceh. Di sisi lain, Pemerintah sibuk mengurus angka-angka statistik yang tak menyentuh kemanusiaan.
Refleksi menuju Komunikasi Krisis yang Adaptif
Apa yang menimpa Sumatera dan Aceh semoga dapat menyadarkan Pemerintah bahwa mengelola rakyatnya di era digital tidak harus menunggu pola instruksi yang kaku, kita butuh negara yang hadir. Jika pola lama tidak ditinggalkan, masyarakat akan lebih percaya relawan dari pada kehadiran pejabat dari gedung-gedung milik negara.
Dalam momentum refleksi ini, Pemerintah tidak bisa lagi mengelola bencana dengan gaya komunikasi era analog. Krisis di lapangan menuntut asimetri informasi ini segera diakhiri. Sudah saatnya Pemerintah perlu masuk dalam ekosistem komunikasi digital CMC, Kecepatan verifikasi harus setara dengan kecepatan unggahan rakyatnya. Jika tidak, pemerintah akan terus menjadi penonton di tengah hiruk-pikuk gerakan warga yang mereka pimpin sendiri. Karena di era sekarang, pemerintah yang tidak terlihat sigap di layar gawai, akan dianggap tidak bekerja di dunia nyata.**






