OBORMOTINDOK.CO.ID. – Salah seorang sahabat saya, pengusaha di Jakarta pernah berkata, “Kalau mau cepat kaya maka buka lah penambangan, karena di sana ada harta karun berlimpah.”

Dia memiliki banyak usaha pertambangan di wilayah Kalimantan. Kekayaannya memang luar biasa. Rumahnya mentereng di kawasan pantai di Jakarta Utara. Apartemennya di mana-mana. Kendaraannya berbagai jenis. Berlibur ke belahan dunia manapun.

Usaha pertambangan, tidak sekadar emas, bisa berupa nikel, pasir, batu, timah, batubara dan sebagianya. Tambang ini ibarat menggali harta karun milik nenek morang. Sekali keruk, kekayaan yang diperoleh bisa buat hidup tujuh generasi lamanya.

Tidaklah heran bila perusahaan yang bergerak dalam pertambangan punya aset luar biasa besar, karyawannya juga bergaji tinggi, dan saham perusahannya diburu dunia.

Kenapa hasil tambang begitu bernilai tinggi? Karena hasil tambang adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa diperbarui tapi punya nilai tinggi bagi manusia.

Itulah sebabnya, animo masyarakat pun luar biasa tinggi untuk menambang alam. Mereka ingin mendapat harta karun dan kekayaan tanpa harus bekerja melalui proses alami.

Khusus di Sulawesi Tengah, penambangan janganlah menjadi harapan untuk mengubah masa depan seperti itu.

Tambang jangan pula dijadikan pendapatan daerah, dan jangan pula dijadikan mata pencarian utama.

Penambangan sejatinya lebih banyak menggali lubang kematian di masa depan, karena di dalam kegiatan itu ada kerusakan yang ditimbulkan.

Kerusakan lingkungan seperti hilangnya kawasan hutan, hilangnya kawasan tanah produktif yang subur, rusaknya aliran sungai, serta hilangnya habitat flora dan fauna sebagai mata rantai sumber pangan.

Ketika lingkungan alami rusak, muncul bencana alam yang tak bisa dicegah. Misalnya bencana tanah longsor, bencana banjir, polusi, dan yang paling parah adalah bencana kelaparan, karena manusia tak lagi bisa bercocok tanam di lahan produktif.

Sudah banyak peristiwa alam akibat penambangan secara ugal-ugalan oleh manusia. Bencana yang ditimbulkan tidak terkira nilainya. Bahkan lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dari hasil tambangnya.

Meskipun ancaman kerusakan lingkungan begitu besar, namun keserakahan kapitalis tidak mau peduli.

Mereka lewat segala cara ingin mendapat izin pertambangan meskipun harus dibungkus menggunakan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Dengan bungkus IPR/WPR ini, kapitalis pertambangan akan dengan mudah mengeruk harta karun dalam perut bumi.

Kapitalis tambang ini tak jarang meggunakan diksi “rakyat” sebagai baju mereka untuk menjalankan usahanya.

Kalau IPR/WPR dipegang kapitalis pertambangan, tidak akan pernah ada ampun lagi. Siapa bisa menjamin bahwa kapitalis tambang itu tidak menjarah seenaknya, karena kemampuan pemerintah dan penegak hukum untuk mengontrol pelanggaran hukum sulit diandalkan lagi.

Indonesia sudah banyak menderita alamnya akibat ulah penambangan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Coba saja telusuri, bahwa setiap bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kerawanan pangan, umumnya di daerah itu banyak penambangan yang tidak dikendalikan.

Sudah menjadi hukum karma bahwa setiap perbuatan yang merusak alam secara serampangan akan mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.

Mengetahui akan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya nanti, pemerintah daerah sebaiknya tidak mudah mengeluarkan izin penambangan. Karena di dalam izin itu terkandung senjata kepada pemegang izinnya.

Jika izin digunakan sebagaimana mestinya dengan penuh tanggung jawab sih aman-aman saja. Celakanya, kektika pemegang izin berlaku serampangan.

Menjalankan izin hanya untuk mengeruk harta karun tanpa lagi menjaga kelangsungan lingkungan hidup. Bila demikian jadinya, manusia tinggal nunggu akibatnya.

Entah itu banjir, longsor, kekeringan, dan kelangkaan bahan pangan akan menghampiri manusia sekitar tambang.

Selain pemerintah sebagai hulunya perizinan, ada satu elemen masyarakat yang bisa dijadikan benteng pertahanan terkahir agar izin tambang tidak serampangan dikeluarkan dan disalahgunakan.

Benteng terakhir itu adalah masyarakat adat!

Masyarakat adat bisa mengambil peran penting dan strategis dalam melindungi lingkungan dari kerusakan akibat penambangan baik yang berizin, apalagi yang ilegal.

Masyarakat adat umumnya masih memiliki keterikatan dengan alam sebagai sumber hidup manusia.

Di tangan mereka, alam sebagai warisan sumber hidup bisa dijaga kelestrian dan keseimbangannya.

Lihatlah bagaimana masyarakat suku badui yang masih memegang tradisi leluhurnya mampu menjaga alam dengan baik.

Nyaris tak terdengar bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kelangkaan bahan pangan di kampung adat mereka. Itu semua karena mereka mampu menjaga alam dari kerusakan penambangan.

Sebagai benteng, masyarakat adat sebaiknya dilibatkan oleh pemerintah daerah, khususnya untuk setiap urusan eksplorasi tambang.

Masyarakat adat dijadikan pemberi pertimbangan, karena mereka lebih punya naluri dan kepekaaan tinggi terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan hidup.

Namun, masyarakat adat pun harus bisa secara konsisten menjaga marwah mereka agar tidak berubah arah dan kepentingan. Jangan sampai mereka malah turut serta menjadi kelompok yang mudah “disetir” oleh kapitalis tambang.

Banyak kasus terjadi yang mana kapitalis tambang mendekati masyarakat adat untuk ikut menjadi sponsor penambangan di suatu daerah.

Tujuan dari kapitalis tambang itu adalah menjadikan masyarakat adat sebagai pembenaran untuk mendapat izin dari pemerintah.

Inilah yang kebanyak terjadi di daerah-daerah yang mengalami kerusakan lingkungan akibat penambangan.

Masyarakat adat sebagai kelompok yang mewakili kearifan lokal mesti punya komitmen kuat untuk melindungi daerah mereka dari kapitalis tambang yang merusak.

Melindungi daerah dari kerusakan sama halnya menjaga kelangsungan hidup anak-anak cucu di masa depan.

Presiden pertama Indonesia, Sokarno pernah menyampaikan pesan kepada anak bangsanya bahwa dia tidak akan membuka investasi atau modal asing yang akan mengeruk kekayaan alam negeri ini.

“Biarlah kekayaan alam kita tetap tersimpan di perut bumi, hingga unsur-unsur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.”

Wajar bila gelora Bung Karno ini diikuti oleh semua elemen masyarakat dalam mengelola kekayaan tambang.

Bung Karno sudah melihat bahwa tambang yang tersimpan dalam perut bumi adalah harta karun yang memikat kapitalis.

Para kapitalis itu tentu dengan segala daya berusaha untuk mengeruknya tiada sisa. Namun, wajah kapitalis itu sekarang ini tidak lagi harus orang asing seperti yang diingatkan Bung Karno tadi.

Para kapitalis tambang itu bisa berupa anak bangsa sendiri, karena neokolonialisme dan neokapitalisme sudah tidak lagi merujuk kepada identitas warga negara tertentu. *

Penulis: Krista Riyanto

Phian